Perusahaan menggunakan berbagai strategi penetapan harga saat memasarkan produknya kepada pelanggan dan salah satu strategi penetapan harga tersebut adalah penetapan prestige pricing. Penetapan harga adalah salah satu P terpenting dari bauran pemasaran.
Umumnya, untuk mengidentifikasi harga optimal atau prestise, marketer akan memperhitungkan tenaga kerja, biaya produksi, dan biaya iklan. Setelah biaya ini dipertimbangkan, maka perusahaan dapat mempertahankan mark up laba minimum. Namun, beberapa perusahaan lebih memilih untuk mengadopsi strategi penetapan harga prestise, karena mereka mengandalkan gagasan bahwa “mahal” dianggap oleh pelanggan sebagai “berkualitas tinggi”.
Misalnya, Jika harga pokok produk Adidas adalah X, maka harga pasarnya mungkin X + 50%. Adidas dapat mempertahankan harga pada X + 20%, tetapi kisaran harganya akan sama dengan Puma, yang merupakan merek dengan reputasi lebih rendah. Oleh karena itu, untuk memberikan kesan bahwa Adidas benar-benar premium dan produknya juga akan premium, Adidas menetapkan harga X + 50%. Pada hari Adidas menurunkan harga, perlahan-lahan akan mulai kehilangan citra mereknya juga.
BACA JUGA : Market Value: Contoh dan Cara Menghitung
Metode ini juga ditemui dengan nama image pricing atau premium pricing, dan dimanfaatkan oleh perusahaan dengan ruang lingkup menumbuhkan kesan bahwa mereka menjual produk berkualitas tinggi.
Prestige pricinge memiliki korelasi langsung dengan brand dan persepsi pelanggan atas citra perusahaan. Jika pelanggan menghargai brand dan puas dengan keistimewaan produk dibandingkan produk kompetitor, maka perusahaan dapat mengambil keuntungan dari penetapan harga prestise dan menangkap nilai, terlepas dari kualitas atau biaya produksi yang rendah.
Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa pelanggan akan membayar harga prestise yang lebih tinggi untuk citra yang tepat, dan sebenarnya mereka tidak akan meneliti apakah harga mencerminkan nilai atau tidak. Harga tinggi digunakan sebagai strategi marketing dengan meyakinkan pelanggan bahwa ada nilai tambah pada biaya. Pada dasarnya, perusahaan mengandalkan anggapan pelanggan bahwa produk mereka memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada pesaing mereka karena biaya yang lebih tinggi dicapai melalui prestige pricing.
Misalnya, ketika Rolex menjual jam tangan, sebenarnya tidak hanya menjual alat penunjuk waktu tetapi juga nilai menampilkan kekayaan finansial pelanggan. Meskipun demikian, konsumen dapat memilih untuk membeli jam tangan Timex, yang memiliki fungsi yang sama dengan Rolex, menunjukkan waktu atau bahkan lebih, dengan harga sepuluh kali lebih murah. Namun, Rolex memanfaatkan harga prestise, karena nilainya ada pada brand dan bukan pada fungsionalitas perangkat. Dengan demikian, perusahaan memperkuat nilai yang dirasakan yang mereka tawarkan kepada pelanggan melalui prestige pricing.
Diskon besar-besaran untuk produk prestise, sebenarnya bisa merusak penjualan, dan berdampak negatif pada citra perusahaan. Di sisi lain, untuk mempertahankan harga prestise, perusahaan-perusahaan ini harus banyak berinvestasi dalam latihan pemasaran dan pembangunan brand. Di mana perusahaan lain mungkin memiliki anggaran pemasaran 4%, produk mungkin memiliki anggaran setinggi 10% dari nilai produk melalui prestige pricing.
BACA JUGA : Apa itu Demografi? Jenis, Metode, Manfaat dan Contoh
Kesimpulan
Penetapan harga prestise adalah tatanan psikologis, dan secara khusus ditujukan kepada segmen niche pelanggan, yang mengasosiasikan harga tinggi dengan kualitas unggul. Pelanggan ini adalah mereka yang merasa bahwa dengan memiliki prestige pricing produk yang mewah dan mahal, mereka memenuhi keinginan status sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, perusahaan sengaja menjaga harga tinggi untuk produk mereka untuk mendorong persepsi yang baik di antara pelanggan melalui harga prestise